Menurut pendapat
saya, pameran beasiswa pendidikan di luar negeri ini sangat bagus sekali untuk
menarik minat mahasiswa Indonesia agar dapat menempuh pendidikan jenjang yang
lebih tinggi lagi ke luar negeri dengan beasiswa. Pada saat seperti ini tidak
banyak mahasiswa yang berniat meneruskan pendidikan S2 atau S3 ke luar negeri. Mungkin
pendapat mereka sekolah di luar negeri itu mahal dan susah. Padahal banyak
sekali beasiswa- beasiswa bertebaran dari luar negeri untuk para mahasiswa Indonesia,
tetapi hanya segilintir mahasiswa yang tertarik untuk meneruskan pendidikan
master dan doktoralnya di luar negeri. Misalkan seperti belanda dengan beasiswa
STUNED yang mencover semua biaya mahasiswa mulai dari tempat tinggal hingga
sampai biaya hidup di belanda. STUNED juga sangat membuka lebar lebar Negara mereka
untuk mahasiswa Indonesia yang ingin berkuliah di sana dengan beasiswa. Banyak sekali
Negara Negara di eropa yang menawarkan beasiswa kepada seluruh mahasiswa Indonesia
seperti STUNED dari belanda, CHEVENING dari UK, DAAD dari jerman dan masih
banyak lagi. Tetapi dengan catatan kita harus semangat dan belajar
sungguh-sungguh dan tingkatkan nilai IELTS kita. Semoga dengan adanya pameran
ini dapat membuat mahasiswa Indonesia untuk lebih maju lagi dalam bidang
pendidikan dan dapat meningkatkan daya saing sumber daya manusia di Indonesia.
Rabu, 29 Oktober 2014
OPINI
Diposting oleh
Unknown
di
22.50
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook

Kamis, 23 Oktober 2014
Feature Investigatif
Apa
sih yang membuat anak-anak sekolah, mahasiswa, sampai yang sudah kerja pun suka
membawa bekal ke sekolah, kampus dan tempat kerja mereka?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya melakukan pengamatan
pada mereka yang sering membawa bekal ke sekolah kampus bahkan ke tempat kerja.
Hari ke 1
Saya bertanya pada Reza kelas 5 sd, ia adalah adik
teman saya. Ia bercerita kepada saya bahwa setiap berangkat sekolah ia selalu
membawa bekal dari rumah. Dengan sekotak
bekal nasi,lauk pauk beserta sayur juga tidak lupa dengan sebotol air mineral. Itu
di lakukan karena orang tuanya tidak ingin anaknya jajan sembarangan.
Hari ke2
Saya bertanya pada adik saya kelas 2 SMK. Kenapa dia
selalu membawa bekal ke sekolah? Dia selalu membawa bekal ke sekolah karena dia sekolah dari pagi dan
pulang sore hari. Kata adik saya supaya tidak kelaparan saat di sekolah. Dan
dapat menghemat uang jajannya.
Hari ke3
Saya bertanya pada teman saya Isti yang selalu membawa bekal ke kampus. Ia
mengatakan kepada saya, selain tempat makan di sekitar kampusnya sangat jauh
dan harganya tidak terjangkau maka dari itu ia selalu membawa bekal kampus. Dan
ia juga dapat menghemat uang jajan dan bisa di tabung di rumah.
Hari ke4
Saya bertanya pada tetangga saya yang kebetulan seorang
karyawan di salah satu perusahaan, menurutnya ia membawa bekal karena terkadang
ia tidak cocok dengan menu catering yang sudah di sediakan oleh tempat ia
bekerja. Untuk itu ia selalu membawa bekal ke tempat kerjanya.
Dari hasil pengamatan di atas dapat ditarik
kesimpulannya bahwa bekal
yang kita bawa, pasti sesuai dengan selera kita. Bekal yang kita bawa,
pasti dibuat dari bahan makanan yang segar dan sehat. Dan bila kita jajan
di pinggir jalan belum tentu makanan tersebut sehat dan jauh dari kata
higienis. Dengan membawa bekal juga kita dapat terhindar dari penyakit yang di
timbulkan akibat jajan sembarangan. Dan dengan membawa bekal ke sekolah,kampus,atau
pun ke tempat kerja, kita dapat menghemat uang jajan dan kita dapat menyisihkan
uang kita untuk ditabung.
Diposting oleh
Unknown
di
18.47
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook

Jumat, 17 Oktober 2014
Tugas Jurnalistik yang ke-3
Kesederhanaan
JOKO WIDODO
Siapa yang tidak kenal dengan
calon presiden republik Indonesia yaitu joko widodo yang biasa disebut dengan
panggilan pak jokowi, ya sebentar lagi pak jokowi akan dilantik menjadi
presiden ke-7 republik Indonesia. Ia terpilih dalam pemilu yang langsung di
pilih oleh rakyat pada tahun ini. Ia juga berhasil mengalahkan prabowo dalam
pertarungan pemilihan presiden republik Indonesia.
Jokowi yang terkenal dengan cara “blusukannya” dan kesederhanaanya sangat
dikenal oleh rakyat Indonesia. Beliau memang tidak banyak omong tetapi beliau
langsung bekerja, bekerja untuk rakyat.
"Pak Jokowi itu
memang orangnya seperti itu, jujur, sederhana, bajunya murah, sepatunya saja
buatan Cibaduyut. Dan dia menikmati itu," kata anggota tim sukses pasangan
Jokowi-Jusuf Kalla, Luhut Binsar Panjaitan di sela deklarasi alumni UI untuk
pasangan tersebut di Balai Sarwono, Jakarta. Untuk itu banyak sekali masyarkat
yang tahu bahwa jokowi memang sangat sederhana misalnya ,Mobil Jokowi saat jadi
Walikota Solo Esemka seharga Rp 145 juta meski ternyata Sekretariat Pemda
Jakarta sudah membelikannya Land Cruiser seharga Rp 1,4 milyar sebagai Mobil
Dinas, tapi Jokowi menolak. Kata Jokowi: ”Saya tidak tanda tangani kuitansi
mobil baru, saya tidak minta dan tidak tahu ada pengadaan mobil. Itu datangnya
sebelum saya masuk ke Balai Kota Jakarta.” Ada satu mobil Kijang Innova hitam
bernopol B 1123 RFR yang digunakan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Baju
Jokowi juga murahan tak bermerek. “Baju-baju dan kaus saya, enggak ada
mereknya. Kalau bermerek beli diskonan. Berarti KW2 itu. Sepatu kanvasnya
seharga Rp 160.000 dibeli di Bandung. Jokowi mengaku hanya memiliki dua pasang
sepatu kets dan dua pasang sepatu pantofel. “Yang sepatu pantofel ini beli di
Bali, harganya Rp 340.000 terus didiskon pula 50 persen. Bukan cuma KW2, tapi
KW3 malahan,” ujarnya terkekeh kembali.
Anies Baswesdan,
menekankan pentingnya kesederhanaan dimiliki oleh seorang pejabat. Menurut dia,
pencegahan tindak pidana korupsi dimulai dari pemilihan personalia yang
tepat. "Dan Pak Jokowi selalu menegaskan bahwa kesederhanaan itu
harus menjadi bagian dari gaya hidup bagian seorang pejabat," kata Anies,
di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta.
Diposting oleh
Unknown
di
05.48
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook

Kamis, 09 Oktober 2014
Tugas Softskill
History of Bandung
The city history dates from 1488 when the first reference to Bandung exists. But from ancient archeological finds, we know the city was home to Australopithecus, Java Man. These people lived on the banks of the Cikapundung in north Bandung, and on the shores of the Great Lake of Bandung. Flint artifacts can still be found in the Upper Dago area and the Geological Museum has displays and fragments of skeletal remains and artifacts.
The Sundanese were a pastoral people
farming the fertile regions of Bandung. They developed a lively oral tradition
which includes the still practiced Wayang Golekpuppet theatre, and many
musical forms. "There is a city called Bandung, comprising 25 to 30
houses," wrote Juliaen de Silva in 1614.
The achievements of European adventurers to try
their luck in the fertile and prosperous Bandung area, led eventually to 1786 when
a road was built connecting Jakarta, Bogor, Cianjur and Bandung. This flow was
increased when in 1809 Louis Napoleon, the ruler of the Netherlands,
ordered Governor General H.W. Daendels, to increase defences in Java
against English. The vision was a chain of military defense units and a supply
road between Batavia and Cirebon. But this coastal area was marsh and swamp,
and it was easier to construct the road further south, across the Priangan
highlands.
The Grote Postweg (Great Post Road) was
built 11 miles north of the then capital of Bandung. With his usual terseness,
Daendels ordered the capital to be relocated to the road. Bupati Wiranatakusumah
II chose a site south of the road on the western bank of the Cikapundung,
near a pair of holy wells, Sumur Bandung, supposedly protected by the
ancient goddess Nyi Kentring Manik. On this site he built hisdalem (palace)
and the alun-alun (city square). Following traditional orientations,Mesjid
Agung (The Grand Mosque) was placed on the western side, and the public
market on the east. His residence and Pendopo (meeting place) was on
the south facing the mystical mountain of Tangkuban Perahu. Thus was The
Flower Cityborn.
Around the middle of the l9th Century, South
American cinchona (quinine), Assam tea, and coffee was
introduced to the highlands. By the end of the century Priangan was registered
as the most prosperous plantation area of the province. In 1880 the
rail line connecting Jakarta and Bandung was completed, and promised a 2 1/2
hour trip from the blistering capital in Jakarta to Bandung.
With this life changed in Bandung, hotels, cafes,
shops sprouted up to serve the planters who either came down from their
highland plantations or up from the capital to frolic in Bandung. The Concordia
Society was formed and with its large ballroom was the social magnet for
weekend activities in the city. The Preanger Hotel and the Savoy
Homann were the hotels of choice. The Braga became the
promenade, lined with exclusive Europeans shops.
With the railroad, light industry flourished.
Once raw plantation crops were sent directly to Jakarta for shipment to Europe,
now primary processing could be done efficiently in Bandung. The Chinese who
had never lived in Bandung in any number came to help run the facilities and
vendor machines and services to the new industries. Chinatown dates
from this period.
In the first years of the present century, Pax
Neerlandica was proclaimed, resulting in the passing of military
government to a civilian one. With this came the policy of decentralization to
lighten the administrative burden of the central government. And so Bandung
became a municipality in 1906.
This turn of events left a great impact on the city. City
Hall was built at the north end of Braga to accommodate the new
government, separate from the original native system. This was soon followed by
a larger scale development when the military headquarters was moved from
Batavia to Bandung around 1920. The chosen site was east of City Hall, and
consisted of a residence for the Commander in Chief, offices, barracks and
military housing.
By the early 20's the need for skilled professionals
drove the establishment of the technical high school that was sponsored by the citizens
of Bandung. At the same time the plan to move the capital of the
Netherlands Indies from Batavia to Bandung was already mature, the city was to
be extended to the north. The capital district was placed in the northeast, an
area that had formerly been rice fields, and a grand avenue was planned to run
for about 2.5 kilometers facing the fabledTangkuban Perahu volcano with Gedung
Sate at the south end, and a colossal monument at the other. on both sides
of this grand boulevard buildings would house the various offices of the
massive colonial government.
Along the east bank of the Cikapundung River amidst
natural scenery was the campus of the Technische Hoogeschool, dormitories
and staff housing. The old campus buildings and its original landscaping reflect
the genius of its architectHenri Maclain Pont. The southwestern section was
reserved for the municipal hospital and the Pasteur Institute, in the
neighborhood of the old quinine factory. These developments were carefully
planned down to the architectural and maintenance details. These years shortly
before World War II were the golden ones in Bandung and those alluded to today
as Bandung Tempoe Doeloe.
The war years did little to change the city of
Bandung, but in 1946, facing the return of the Colonial Dutch to
Indonesia, citizens chose to burn down their beloved Bandung in what has become
known as Bandung Lautan Api, Bandung Ocean of Fire. Citizens fled to the
southern hills and overlooking the "ocean of flames" penned"Halo
Halo Bandung," the anthem promising their return. Political unrest
colored the early years of Independence and consequently people flocked to
Bandung where safety was. The population skyrocketed from 230,000 in 1940 to 1
million by 1961. Economic prosperity following the oil boom in the 70's pushed
this further so that by 1990 there were 2 million inhabitants.
Present day Bandung is thriving. As home to more
than 35 schools of higher education, there is a vibrant collegiate atmosphere.
The excellent fine arts offerings have produced an artist colony of great
repute and excitement. The textile industry is the largest in the country and
contributes to a vigorous business climate.
In 1987 the city extended its administrative
boundaries toward a Greater Bandung Plan (Bandung Raya) Plans for the city
include higher concentrations of development outside the current city centre,
in an attempt to dilute some of the population density in the old core. These
days Bandung Raya is still years ahead, yet the land has suffered
deeply. Commercial activities run amok, God only knows who can take control.
The city core is practically uprooted, old faces are torn down, lot sizes
regrouped, and what was idyllic residence is now bustling chain supermarkets
and rich banks.
Source: en.wikipedia.org/wiki/History_of_Bandung
Diposting oleh
Unknown
di
18.49
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook

Kamis, 02 Oktober 2014
Tugas Jurnalistik yang ke2
Wisata Alam Telaga Sarangan
Rombongan 2 mobil dari ngawi masih menapaki jalan menuju
wisata telaga sarangan. Telaga
Sarangan ini terletak di Plaosan, Magetan. Rute jalur menuju telaga Sarangan
dengan melalui Tawangmangu, Karanganyar atau bisa melalui jalur dari Magetan.
Telaga ini berjarak 16 kilometer dari arah barat Magetan. Gelak tawa dan canda
mewarnai perjalanan yang memenatkan itu. Rasa tidak sabar pun semakin menggebu
ketika rombongan hampir sampai di wisata alam telaga sarangan.
Akhirnya perjalanan
panjang yang membuat penat itu terbayarkan dengan keindahan alam telaga
sarangan yang asri dan indah. Hamparan perkebunan dan bukit bukit yang curam
menghiasi pesona alam telaga sarangan. Suasana pedesaan yang masih natural
menghapus semua rasa penat dan capek selama di perjalanan yang sangat panjang. Wisata
alam telaga sarangan banyak di kunjungi oleh wisatawan lokal maupun
mancanegara. Walaupun jarak yang di tempuh untuk mencapai tempat wisata
tersebut cukup jauh tetapi, tidak menjadi halangan untuk para wisatawan yang
hendak berkunjung ke telaga sarangan.
Dengan
harga tiket masuk sekitar Rp7.500 per orang. Wisatawan sudah bisa menikmati
keindahan alam telaga sarangan. Telaga ini luasnya sekitar 30 hektar. Jarak
yang diperlukan untuk mengelilingi telaga ini sekitar 2 kilometer lebih. Tidak
disarankan bagi yang ingin mengitari dengan jalan kaki. Namun jalan kaki juga
mempunyai kenikmatan tersendiri. Alternatif lain yang ingin mengeliling
telaga Sarangan bisa menaiki Speed boat atau naik Kuda. Tarifnya jika
naik speedboat sekali putar yaitu sekitar Rp40.000 dan naik Kuda sekitar
Rp30.000. Setelah anda puas berkeliling anda bisa memesan sate Kelinci dengan
harga Rp7.000 saja. Makanan lain yang bisa
diperoleh yaitu nasi Pecel dengan harga Rp 8.000
Di sekitar telaga Sarangan anda bisa membeli sayur-mayur
khas Sarangan dengan harga yang murah, seperti Wortel, Alpukat, Ubi, bawang dan
lain-lain. Souvenir khas Sarangan banyak terdapat disini. Anda bisa membeli
sebagai oleh-oleh. Banyak sekali wisatawan domestik atau mancanegara mengabadikan
foto mereka di telaga sarangan. Karena objek wisata telaga sarangan yang
alamnya masih natural dengan suasana pedesaan. Untuk itu objek wisata alam
telaga sarangan yang letaknya sangat jauh tetapi tetap menjadi destinasi
liburan favorit bagi wisatawan yang menginginkan suasana pedesaan yang alami.
Diposting oleh
Unknown
di
21.52
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
