SEJARAH
JURNALISTIK DI DUNIA
Masa Romawi Kuno (Acta Diurna)
Awal
mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang
sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi
Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM).
“Acta
Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi
sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau
surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak
Pers Dunia”.
Sebenarnya,
Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan
berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala
kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di
serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap
orang yang lewat dan memerlukannya.
Saat
berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para
anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita
tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu
disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau
dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk
diketahui oleh umum.
Berita di
“Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”,
yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat
senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para
hartawan.
Dari kata
“Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata
“Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke
dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang
berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul
kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Sejarah Penemuan Kertas
Sebelum
kertas ditemukan, orang kuno menggunakan beragam material untuk mencatat
sesuatu. Orang Mesir kuno menuliskan catatan di batang pohon, di piringan tanah
oleh orang Mesopotamia, di kulit domba oleh orang eropa dan yang lainnya.
Peradaban
Mesir Kuno menyumbangkan papirus sebagai media tulis menulis. Penggunaan
papirus sebagai media tulis menulis ini digunakan pada peradaban Mesir Kuno
pada masa wangsa firaun kemudian menyebar ke seluruh Timur Tengah sampai Romawi
di Laut Tengah dan menyebar ke seantero Eropa, meskipun penggunaan papirus
masih dirasakan sangat mahal. Dari kata papirus (papyrus) itulah dikenal
sebagai paper dalam bahasa Inggris, papier dalam bahasa Belanda, bahasa Jerman,
bahasa Perancis misalnya atau papel dalam bahasa Spanyol yang berarti kertas
Kemudian
perkembangan kertas dimulai kembali dari Cina. Terinspirasi dari proses
penggulungan sutra, orang Cina kuno berhasil menemukan bahan seperti kertas
yang disebut ‘bo’ yang terbuat dari sutra. Namun produksi bo sangatlah mahal
karena kelangkaan bahan.
Pada awal
abad ke dua, pejabat pengadilan bernama Cai Lun berhasil menemukan kertas jenis
baru yang terbuat dari kulit kayu, kain, batang gandum dan yang lainnya. Kertas
jenis ini relatif murah, ringan, tipis, tahan lama dan lebih cocok untuk digunakan
dengan kuas. Penemuan ini akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring
menyebarnya bangsa-bangsa China ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan
itu meskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat
rahasia.
Pada
akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab
pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam
Pertempuran Talas pada tahun 751 Masehi di mana para tawanan-tawanan perang
mengajarkan cara pembuatan kertas kepada orang-orang Arab sehingga pada zaman
Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Bagdad maupun
Samarkand dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan
India, lalu Eropa khususnya setelah Perang Salib dan jatuhnya Grenada dari
bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol, Pada abad ke 16, kertas mencapai
wilayah Amerika dan secara bertahap menyebar ke seluruh dunia.
Pada tahun
1799, seorang Prancis bernama Nicholas Louis Robert menemukan proses untuk
membuat lembaran-lembaran kertas dalam satu wire screen yang bergerak, dengan
melalui perbaikan-perbaikan alat ini kini dikenal sebagai mesin Fourdrinier.
Penemuan mesin silinder oleh John Dickinson pada tahun 1809 telah menyebabkan
meningkatnya penggunaan mesin Fourdrinier dalam pembuatan kertas-kertas tipis.
Tahun 1826, steam cylinder untuk pertama kalinya digunakan dalam pengeringan
dan pada tahun 1927 Amerika Serikat mulai menggunakan mesin Fourdrinier.
Peningkatan
produksi oleh mesin Fourdrinier dan mesin silinder telah menyebabkan
meningkatnya kebutuhan bahan baku kain bekas yang makin lama makin berkurang.
Tahun 1814, Friedrich Gottlob Keller menemukan proses mekanik pembuatan pulp
dari kayu, tapi kualitas kertas yang dihasilkan masih rendah. Sekitar tahun 1853-1854,
Charles Watt dan Hugh Burgess mengembangkan pembuatan kertas dengan menggunakan
proses soda. Tahun 1857, seorang kimiawan dari Amerika bernama Benjamin Chew
Tilghman mendapatkan British Patent untuk proses sulfit. Pulp yang dihasilkan
dari proses sulfit ini bagus dan siap diputihkan. Proses kraft dihasilkan dari
eksperimen dasar oleh Carl Dahl pada tahun 1884 di Danzig. Proses ini biasa
disebut proses sulfat, karena Na2SO4 digunakan sebagai make-up kimia untuk sisa
larutan pemasak.
Sejarah
Mesin Cetak
Karya
Johannes Gutenberg dalam mesin cetak di mulai sekitar 1436 ketika dia sedang
bekerja sama dengan Andreas Dritzehan, seseorang yang pernah dibimbing oleh
Gutenberg dalam pemotongan batu permata, dan Andreas Heilmann, pemilik pabrik
kertas. Tetapi rekor resmi itu baru muncul pada tahun 1439 ketika ada gugatan
hukum melawan Gutenberg; saksi-saksi yang ada membicarakan mengenai cetakan
Gutenberg, inventaris logam (termasuk timah), dan cetakan ketikannya. Gutenberg
menciptakan sebuah metode pengecoran potongan-potongan huruf di atas campuran
logam yang terbuat dari timah. Potongan-potongan ini dapat ditekankan ke atas
halaman berteks untuk percetakan. Metode penemuan pencetakan oleh Gutenberg
secara keseluruhan bergantung kepada beberapa elemennya diatas penggabungan
beberapa teknologi dari Asia Timur seperti kertas, pencetakan dari balok kayu
dan mungkin pencetakan yang dapat dipindahkan, ciptaan Bi Shen, ditambah dengan
permintaan yang meningkat dari masyarakat Eropa untuk pengurangan harga
buku-buku yang terbuat dari kertas. Metode pengetikan ini bertahan selama
sekitar 500 tahun.
Sejarah terbitnya surat kabar (Koran)
koran cetak
pertama adalah Di Bao (Ti-pao) tahun 700an di CIna. Metode Pencetakannya
menggunakan balok kayu, yang dipahat aksara cina. Bentuk koran berikutnya masih
amat sederhana: Newsletter dan buku berita, di tahun 1400an. Beritanya kebih
banyak berkaitan dengan dunia bisnis para bankir dan pedangang eropa.
Selanjutnya, newsletter dan bukui berita berkembang menjadi lembar berita/newsheet
tahun 1500an. Notizie Scritte (pemberitahuan tertulis) yang terbit di Venesia,
Italia. termasuk jeis lembar berita itu. “Koran” lembaran ini biasanya dipasang
di banyak tempat umum, tetapi yang ingin membacanya harus membayar 1 gazzeta.
Dari sanalah mucum istilah gazzeta yang menunjuk koran.
Terbitnya
koran-koran di Eropa di awali dengan temuan mesin cetak Johann Gutenberg pada
pertengahan abad XV yang memudahkan proses produksi. Awalnya lembar berita yang
terbit tidak teratur dan memuat cuma satu peristiwa, kemudian berwvolusi dengan
terbit teratur seperti yang dilakukan mingguan Avisa Relation oder Zeitung,
sejak 1609 di Strasbourg, jerman. Rupanya awab XVII menjadi abad penting
lahirnya banyak koran di Eropa. Tapi, mingguan Frankfurter Journal (1615) yang
dikelola Egenolph Emmel di Frankfrut, Jerman, umum dipandang sebagai koran
pertama di dunia. Sampai kemudian lahir Leipziger Zeitung (1660) uga di Jerman,
yang mula-mula mingguan, kemudai menjadi harian, Inilah koran harian pertama di
dunia.
Tak lama
kemuduan Inggris menyusul,diawali oleh The London Gazette (1665) yang masih
koran berkala.Inggris mengenal koran hariannya yang pertama dengan terbitnya
The London Daily Courant (1702). The Times koran Inggris-yang terbit sejak abad
XVII hingga kini-pertama kali memakai sistem cetak rotasi.Penemuan telegram dan
jaringan kabel internasional di pertengahan 1800-an membuat wartawan bisa lebih
cepat meliputi dari berbagai kawasan dunia.
Politzer Award
Pulitzer
Award atau yang dikenal dengan Penghargaan Pulitzer adalah penghargaan
yang dianggap tertinggi dalam bidang jurnalisme cetak di Amerika Serikat.
Penghargaan ini juga diberikan untuk pencapaian dalam bidang sastra dan gubahan
musik. Penghargaan Pulitzer pertama diberikan pada 4 Juni 1917, dan sejak
beberapa waktu lalu, mulai diumumkan setiap tahunnya pada bulan April. Penerima
penghargaan ini dipilih oleh sebuah badan independen yang secara resmi diatur
olehuate School of Journalism (Sekolah Jurnalisme Universitas Columbia) di
Amerika Serikat. Penghargaan ini diciptakan oleh Joseph Pulitzer, seorang
jurnalis dan penerbit surat kabar Hungaria-Amerika pada akhir abad ke-19.
Penghargaan diberikan dalam kategori-kategori yang berhubungan dengan
jurnalisme, kesenian dan surat-surat. Hanya laporan yang diterbitkan dan
foto-foto hasil karya surat kabar atau organisasi berita harian yang berbasis
di Amerika Serikat saja yang berhak menerima penghargaan jurnalisme.
Sejarah
Jurnalistik di Indonesia
Zaman Belanda
Pada tahun
1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat berita- berita
resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari harian-harian di
Eropa. Sedangkan di Surabaya Soerabajash Advertentiebland terbit pada tahun
1835 yang kemudian namanya diganti menjadi Soerabajash Niews en
Advertentiebland.
Di semarang
terbit Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant. Di Padang surat
kabar yang terbit adalah Soematra courant, Padang Handeslsbland dan Bentara
Melajoe. Di Makassar (Ujung Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch
Handelsbland. Surat- surat kabar yang terbit pada masa ini tidak mempunyai arti
secara politis, karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya tidak
lebih dari 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Semua penerbit terkena
peraturan, setiap penerbitan tidak boleh diedarkan sebelum diperiksa oleh
penguasa setempat.
Pada tahun
1885 di seluruh daerah yang dikuasai Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa
Belanda, dan 12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah Bintang Barat,
Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar, Selompret Melayudan Tjahaja Moelia,
Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan Surat kabar berbahasa jawa Bromartani yang
terbit di Solo.
Zaman Jepang
Ketika
Jepang datang ke Indonesia, surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia
diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan
menghemat alat- alat tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang
dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor berita Antara pun
diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada
dibawah pusat pemberitaan Jepang, yakni Domei.
Wartawan-wartawan
Indonesia pada saat itu hanya bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi
pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari Jepang.
Pada masa itu surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah
dan tentara Jepang.
Pasca Kemerdekaan
Seperti
juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman
hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak
kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot,
Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas
dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional.
Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan
terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Pada
tanggal 1 Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De
Unie yang berhasil menguasai percetakan. Pada saat revolusi fisik itu
jurnalistik Indonesia mempunyai fungsi yang khas. Hasil karya wartawan bukan
lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna
bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di Front. Berita yang
dibuat para wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela
kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan
pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massanya.
Pada
tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950
RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu
itu yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin
demokrasi terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek,
kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan
politik dengan tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan
khalayak.
Antara
tahun 1955 sampai 1958 dengan UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang
dibredel, banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober
1958 dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan
peraturan untuk lebih mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk
mendapatkan SIT diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan,
kemudahan lahir peraturan baru yang lebih mempersempit ruang gerak para
wartawan yang hendak mengeluarkan pendapatnya dan pikirannya.
Departemen
Penerangan mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau
majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa.
Surat kabar di daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan
organ resmi dari induk tempat ia berafiliasi di Pusat harus mengubah namanya
sehingga sama dengan organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat dibayangkan
bagaimana corak jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para wartawan
dipersempit, keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966 bagi sejarah
pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya
UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Ditinjau
dari segi kualitas dan kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik
Indonesia sejak saat itu menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988
tercatat ada 263 penerbitan pers, pada tahun 1992 jumlah tersebut meningkat
menjadi 277 penerbitan pers.
Orde Baru
Selama dua
dasawarsa pertama Orde Baru, 1965–1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia,
memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai,
dan roh ekonomi daripada dimensi politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat
hidup dengan subur tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum,
pengemban fungsi kontrol sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai
pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah. Orde Baru sangat
menyanjung ekonomi namun membenci politik. Sepanjang 1980, fungsi pers masih
mengalami penciutan, bersamaan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah
terhadap kegiatan politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers sebagai komunikator
informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah
fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan. Pers mengalami kepincangan terutama
dalam bidang pendidikan politik.
Kebebasan
jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik
Orde Baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses
yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas
dalam Pasal 28 UUD 1945. Disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan
tiarap, dengan mengendap-endap pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup.
Strategi inilah yang dipilih sebagian pers nasional untuk meloloskan diri dari
jebakan-jebakan kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998,
lahirlah kemudian apa yang disebut Orde Reformasi.
Reformasi
Kebebasan
jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Terjadi
euforia di mana-mana kala itu.
Secara
yuridis, UU Pokok Pers No 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999.
Dengan undang-undang baru dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan
mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk organisasi pers mana
pun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pokok Pers No 40/1999, setiap
warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Ditegaskan
lagi pada ayat (2), setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum
Indonesia.
Kewenangan
pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 Pokok Pers No. 40/1999,
pers nasional melaksanakan peranan: (1) memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui, (2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya
supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, (3)
mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan
benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhdap hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Dalam era
reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan diperjuangkan. Semua
komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka.
Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi.
Merdeka, menurut kasidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supremasi
hukum.
UU ITE
UU ITE
mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian Negara komunikasi dan
informasi (kominfo), pada mulanya RUU ITE diberi nama undang-undang informasi
komunikasi dan transaksi elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari
universitas yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad),
Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI).
Pada
tanggal 5 september 2005 secara resmi presiden Susilo Bangbang Yudhoyono
menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk
Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi
Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia) sebagai wakil pemerintah dalam
pembahasan bersama dengan DPR RI. Dalam rangka pembahasan RUU ITE Departerment
Komunikasi dan Informsi membentuk Tim Antar Departemen (TAD).
Melalui
Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 83/KEP/M.KOMINFO/10/2005
tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri
No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007.Bank Indonesia masuk
dalam Tim Antar Departemen (TAD) sebagai Pengarah (Gubernur Bank Indonesia),
Nara Sumber (Deputi Gubernur yang membidangi Sistem Pembayaran), sekaligus
merangkap sebagai anggota bersama-sama dengan instansi/departemen terkait.
Tugas Tim Antar Departemen antara lain adalah menyiapkan bahan, referensi, dan
tanggapan dalam pelaksanaan pembahasan RUU ITE, dan mengikuti pembahasan RUU
ITE di DPR RI.
Dewan
Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan
membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10
(sepuluh) Fraksi di DPR RI. Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris Masalah
(DIM) atas draft RUU ITE yang disampaikan Pemerintah tersebut, Pansus RUU ITE
menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai
pihak, antara lain perbankan,Lembaga Sandi Negara, operator
telekomunikasi,aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya pada bulan
Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam
Pansus RUU ITE DPR RI. Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus
DPR RI dengan pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri
Komunikasi dan Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak
Azasi Manusia) membahas DIM RUU ITE.Tanggal 29 Juni 2007 sampai dengan 31
Januari 2008 pembahasan RUU ITE dalam tahapan pembentukan dunia kerja
(panja).sedangkan pembahasan RUU ITE tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim
Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13 Februari 2008 sampai
dengan 13 Maret 2008. 18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU ITE dibawa ke
tingkat II sebagai pengambilan keputusan.
25 Maret
2008, 10 Fraksi menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Selanjutnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE
menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008
dan Tambahan Lembaran Negara.
dengan
diresmikanya Undang-Undang ITE yang ada maka dampak akibat kejahatan kajahatan
yang terjadi di dunia ITE akan berkurang karena setiap tindakan seseorang yang
dilakukanya akan diawasi langsung oleh UU ITE,
Dengan adanya UU ITE tidak dapat semenah menah dalam menulis, mengUploute dsb dengan sembarangan karena jika seseorang tidak terima dengan tulisan kita yg bersifat menjelekan atau apapun kita dapat dikenakan UU pencamaran nama baik, dak kita dapat dikenakan sanksi yang sesuai dengan UU ITE baik sanksi pidana maupun perdata.
Dengan adanya UU ITE tidak dapat semenah menah dalam menulis, mengUploute dsb dengan sembarangan karena jika seseorang tidak terima dengan tulisan kita yg bersifat menjelekan atau apapun kita dapat dikenakan UU pencamaran nama baik, dak kita dapat dikenakan sanksi yang sesuai dengan UU ITE baik sanksi pidana maupun perdata.
Referensi
Sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com
Jurnalistikumsu.wordpress.com
Septianapratiwi.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar